Masuknya Islam Ke Indonesia

Sejarah masuknya islam di Indonesia

Peradaban dan Agama Masyarakat Indonesia Sebelum Kedatangan Islam
Berdasarkan letak geografis, tanah air Indonesia merupakan daerah kawasan asia tenggara. Daerah yang merupakan wilayah kepulauan asia tenggara, terdiri atas Negara-negara, diantaranya philipina, Malaysia, singapura dan Indonesia. Negara-negara di kawasan asia tenggara ini mempunyai dasar-dasar persamaan peradaban yang kuat, dimana latar belakang peradabannya mempunyai corak yang kuat.

Peradaban bangsa Indonesia dan malaka telah mengenal jaman sejarah, yakni zaman di mana mereka telah mengenal tulisan.zaman ini adalah atas pengaruh agama hindu dan budha yang mengenal huruf pallawa. Pengaruh ini berlangsung antara tahun 1400-1478, bahwa masuknya hinduisme membawa perubahan besar, yaitu kedudukan raja yang semula atas pemilihan ” primus inter pares” berubah menjadi system dinasti berdasarkan hukum kasta..

Di bidang seni bangunan, candi merupakan pengaruh hindu dan budha yang lebih menonjol lagi, bahkan bangunan-bangunan candi Indonesia dapat memberikan petunjuk khusus sebagai peninggalan pengaruh hinduisme dan budhisme, sekalipun sebenarnya pola bngunan candi Indonesia adalah berasal dari seni bangunan prasejarah. Bahkan pada bangunan ini banyak pula gambar-gambar relief pada dinding candi yang melukiskan flora dan fauna Indonesia asli, bukan dari hindia.

Pengaruh Islam Terhadap Peradaban Bangsa Indonesia
Perkembangan islam di Indonesia membawa pengaruh yang sangat besar, sehingga tidak di rasa kebudayaan dan peradaban Indonesia banyak yang berasal dari islam.

Masuknya pengaruh islam ke kebudayaan nasional, meliputi bahasa, nama, adat-istiadat, dan kesernian.

1. Pengaruh bahasa dan nama
Bahasa Indonesia banyak yang di pengaruhi islam, bersal dari bahasa arab. Karena sering di pergunakannya pada pembicaraan umum, surat kabar dan lain-lainnya, seolah-olah bahasa tersebut sudah menjadi bahsa Indonesia. Seperti, kata perlu yang bersal dari fardu, musawarah dari kata musyawarah, dan kata ihlas dari kata ikhlas.

Di bidang nama sudah sangat luas pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Tidak sedikit jumlahnya bangsa Indonesia yang namanya berasal dari bahasa arab,karena pengaruhnya ajaran agama islam.

2. Pengaruh adat-istiadat
Adat-istiadat bansa Indonesia yang dari pengaruh ajaran agama islam, tidak saja orang islam yang melakukan, tetapi oprang lainpun banyak yang melakukan seolah-olah sudah menjadi milik bangsa Indonesia sendiri. Seperti, mengucapkan salam ketiak hendak berpidato atau bertemu dengan yang lainnya dan membaca doa pada setiap acara dan pekerjaan yang dilaksanakan.

3. Pengaruh kesenian
pengaruh kesenian ini yang mencolok pada kesenian lagu-lagu kosidah , di mana dalam syairnya bernafaskan ajaran-ajaran agama. Lagu-lagu kosidah itu di iringi dengan musik rebana.memukul rebana dengan irama yang teratur disertai bacaan memuji allah, sering dilakukan masyarakat Indonesia pada upacara perkawinan, maulidiyah, khitanan dan lain-lainnya.

Seni baca al qur’an musabaqah tilawtil qur’an yang dilaksanakan tiap tahun dari tingkat anak sampai dewasa. Pengaruh islam pada bangsa Indonesia semakin hari bertambah luas, sehingga ikut pula mewarnai pertumbuhan kebudayaan indonsia.

Awal Mula Masuknya Islam Di Indonesia
Sejak awal masehi Indonesia merupakan Indonesia merupakan Negara yang sering dilewati oleh pedagang-pedagang asing baik dari India, cina, atau timur tengah. Seperti di malaka dan wilayah barat nusantara sejak masa kuno wilayah ini menjadi titik perhatian pedagang asing dan menjadi daerah lintasan penting antara cina dan India. Pedagang muslim asal arab Persia dan India juga ada yang yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdaan sejak abad ke 7 M atau abad ke 1 H, ketika islam pertama kali berkembang di timur tengah. Diperkirakan sejak abad ini pribumi Indonesia sebagian diantaranya sudah ada yang masuk islam. Hanyasaja menurut Taufiq Abdullah belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia yang disinggahi oleh pedagang muslim itu beragama islam.[3]

Baru pada zaman-zaman berikutnya penduduk kepulauan ini masuk islam bermula dari penduduk pribumi dikoloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke 13M, masyarakat muslim sudah ada di samudera pasai, perlak, dan palembang.

Dari sinilah akhirnya islam bisa berkembang berkembang kedaerah-daerah yang lainnya di pulau jawa sampai sekarang. Masuknya islam di Indonesia tentunya melalui tahapan-tahapan dan dengan adanya metode-metode yang diterapkan sehingga mampu untuk mengislamkan kepulauan ini.

Metode-Metode Masuknya Islam Di Indonesia
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya islam masuk di Indonesia dibawa oleh pedagang asing yang singgah di Indonesia sehingga bisa disimpulkan masuknya islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai atau tanpa ada penumpahan darah.

Menurut uka tjandrasasmita[4] masuknya islam di Indonesia dilakukan enam saluran yaitu:

1. Saluran perdagangan
Masuknya pedagang-pedagang asing dikepulauan Indonesia seperti arab. Cina, Persia dan India merupakan awal mula masuknya islam di Indonesia yaitu bermula dari bermukimnya para pedagang asing di pesisir jawa yang penduduknya masih kafir. Hingga akhirnya mereka mampu mendirikan masjid-masjid dan pemukiman-pemukiman muslim.

2. Saluran perkawinan
Dilihat dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial lebih baik dari pada pribumi Indonesia sendiri, sehingga tidak sedikit penduduk pribumi yang tertarik denan para pedagang muslim tersebut khususnya putri-putri raja dan bangsawan. Proses islamisasi ini dilakukan sebem adanya pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan proses pernikahan sampai pada akhirnya mereka mempunyai keturunan dan mampu membuat daerah-daerah atau bahkan kerajaan-kerajaan islam.

Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati, karena bangsawan, raja, dan adipati dapat mempercepat proses masuknya islam di Indonesia.

Demikianlah yang terjadi antara raden rahmat atau sunan ampel dengan nyai manila. Sunan gunung jati dengan putrid kaunganten. Brawijaya dengan putri campa yang menurunkan raden fatah ( raja pertama demak ).

3. Saluran tasawuf
Pengajar-pengajar tasawauf atau para sufi, mengajarkan teosofi yangb bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mempunyai kemampuan dan kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Diantara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat . dengan ilmu tasawufnya mereka mengajarkan islam kepada pribumi yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yangb se4belumnya menganut agama hindu, sehingga agama baru itu mudah dimenerti dan di terima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra islam itu adalah Hamzah Fansuri di aceh, syeh lemah abang, dan sunan panggung di jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di Indonesia di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.

4. Saluran pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggaakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dam kiai mendapat pendidikan agama. Setelah kelua dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing kemudian mereka berdakwah ketempat tertentu mengajarkan islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh raden rahmat di Ampel Denta Surabaya dan sunan giri di giri. Keluaran pesantren giri ini banyak yang di undang ke maluku untuk mengajarkan agama islam.

5. Saluran kesenian
Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, sunan kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat islamisasi, seperti sastra ( hikayat, babad, dan sebagainya ), seni bangunan dan seni ukir.

6. Saluran politik
Di maluku dan sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk islam setelah rajanya memeluk islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam didaerah ini. Di samping itu, baik di sumatera dan jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan islam memerangi kerajaan-kerajaan non-islam. Kemenangan kerajaan islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan islam itu masuk islam.

Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis jabarkan secara panjang lebar di atas bisa disimpulkan bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan di asia tenggara yang banyak di singgahi oleh pedagang-pedagang asing sehingga dari sinilah kebudayaan-kebudayaan islam mulai memasuki kepulauan Indonesia. Adapun sebelum masuknya islam di Indonesia peradaban yang ada di Indonesia adalah hinduisme dan budhisme yang peninggalan-peninggalannya masih bisa dibuktiikan sampai sekarang seperti bangunan candi, relief dan sebagainya. Sedangkan masuknya islam di Indonesia menurut uka tjandrasasmita dilakukan dengan enam saluran yaitu: Saluran perdagangan, Saluran perkawinan, Saluran tasawuf, Saluran pendidikan, Saluran kesenian, dan Saluran politik.

Dari keenam saluran di ataslah islam bisa menjangkau hampir ke seluruh pelosok Indonesia yang salah satu pengaruhnya diakui sebagai kebudayaan Indonesia sendiri sampai sekarang seperti Pengaruh bahasa dan nama, Pengaruh adat-istiadat, Pengaruh kesenian.

Kisah Nabi Muhammad SAW Part III


Kematian Ibunda

Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib. Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bersama Abu Talib

Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.

Perjalanan Pertama Ke Syam

Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Kisah Nabi Muhammad SAW IV


Pernikahan Dengan Khadijah ra
Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.

Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Jihad Dalam Islam

Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab kokoh dan kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila mereka meninggalkan jihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shohih [1] :Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa jihad dan melawan orang yang menyelisihi para rasul dan mengarahkan pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepadaNya” [2].
Namun amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat islam. Karena keduanya adalah syarat diterima satu amalan. Disamping juga jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa dan memiliki hubungan dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta yang menjadi perkara agung dalam Islam sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan atas kalian (saling mendzoliminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian, ketahuilah apakah aku telah menyampaikan? Mereka menjawab: Ya. Maka beliau pun berkata: Ya Allah persaksikanlah, maka hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian saling membunuh sebagian lainnya. (Muttafaqun ‘Alaihi) [3]
Demikian agungnya perkara jihad ini menuntut setiap muslim melakukannya untuk menggapai cinta dan keridhoan Allah. Tentu saja hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen terhadap ketentuan dan batasan syari’at, komitmen terhadap batasan dan hukum Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merealisasikan target dan tujuan syari’at tanpa meninggalkan satu ketentuan dan batasannya, agar selamat dari sikap ekstrim dan berlebihan sehingga jihadnya menjadi jihad syar’i diatas jalan yang lurus dan dia mendapatkan akibat dan pahala yang besar diakhirat nanti. Hal itu karena ia berjalan diatas cahaya ilahi, petunjuk dan ilmu dari Al Qur’an dan sunnah NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar mengenai konsep islam tentang jihad secara benar dan bertanya kepada para ulama pewaris nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Apalagi dalam permasalahan yang sangat penting dan berbahaya ini, dan di masa kaum muslimin tidak mengenal syari’atnya dengan benar. Sebab bisa jadi yang dianggap jihad syar’i sebenarnya adalah jihad bid’ah.
Pengertian Jihad dalam Pandangan Islam.
Kata Jihad berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan untuk dzat Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Dibalik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. [5]
Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan: “Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad dijalan Allah, namun kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak terfahami kecuali untuk makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina” [6].
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan: “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” [7].
Dan beliau juga menyatakan: “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” [8].
Tampaknya tiga pendapat diatas sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat islam, hanya saja penggunaan lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi Ibnu Taimiyah diatas dan beliau menyatakan: Terfahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah diatas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah nama yang meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi dan menolak perbuatan, perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai. [9]
Jenis dan Tingkatan Jihad
Kata jihad bila didengar banyak orang maka konotasinya adalah jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk dan jenis jihad karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya dengan menyatakan: Jihad memiliki empat martabat, yaitu jihad memerangi nafsu, jihad memerangi syetan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik. [10]  Namun dalam keterangan selanjutnya Ibnu Al Qoyyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezaliman, bid’ah dan kemungkaran.[11]
Kemudian beliau menjelaskan 13 martabat bagi jenis-jenis jihad diatas dengan menyatakan: Lalu jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1.    Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2.    Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3.    Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4.    Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Rabbaniyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai mengenal kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.
Adapun jihad memerangi syetan memiliki dua martabat:
1.    Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan tembakkan kepada hamba.
2.    Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama dilakukan dengan yakin dan kedua dengan kesabaran, Allah berfirman:Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah: 24)
Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.
Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan munafiqin, maka memiliki 4 martabat; dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.
Sedang jihad memerangi pelaku kedzoliman, kebidahan dan kemungkaran memiliki 3 martabat; pertama dengan tangan bila mampu, apabila tidak mampu, pindah dengan lisan, bila juga tidak mampu maka dengan hati.
Inilah tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu cabang kemunafiqan [12] [13].
Dari keterangan imam Ibnul Qayyim diatas dapat diambil beberapa pelajaran:
1.    Banyak kaum muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja, ini adalah pemahaman parsial.
2.    Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud tujuan ilmu adalah diamalkan. Setelah itu maka memerangi jiwa untuk berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Ketika jihad memerangi musuh Allah yang diluar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam:Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah.
Maka jihad memerangi jiwa didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang diluar (jiwa), dan menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang diluar. Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya padahal musuhnya yang disampingnya berkuasa dan menjajahnya serta belum ia jihadi dan perangi. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad?” [14]
Jihad memerangi jiwa hukumnya wajib atau fardhu ‘ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang. [15]
3.    Para ulama menjelaskan bahwa pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu Syahwat dan Syubhat. Syetan mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu syahwat. Dan bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada kebid’ahan [16].
Jihad melawan syetan ini hukumnya fardhu ‘ain juga karena berhubungan langsung dengan setiap peribadi manusia, sebagaimana firman Allah:Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu). (QS. Fathir: 6)
4.    Jihad melawan orang kafir dan munafiqin dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.
Pengertian jihad melawan orang kafir dan munafiq dengan hati adalah membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas dan kecintaan serta senang dengan kerendahan dan kehinaan mereka dan sikap lainnya yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah yang berhubungan dengan hati.
Pengertian jihad dengan lisan adalah dengan mejelaskan kebenaran, membantah kesesatan dan kebatilan-kebatilan mereka dengan hujjah dan bukti kongkrit. Sedangkan pengertian jihad dengan harta adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah serta menolong dan membantu kaum muslimin. Adapun jihad dengan jiwa maksudnya adalah memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk islam atau kalah, sebagaimana firman Allah,Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan firmanNya:Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. At-Taubah: 29)
Kaum kafir dan munafiqin diperangi dengan keempat jihad diatas. Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan karena permusuhannya terang-terangan. Sedangkan munafiqin dengan lisan karena permusuhannya tersembunyi dan gamang dalam keadaan mereka dibawah kekuasaan kamu muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan asli mereka serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang tahu hal itu dan berhati-hati dari mereka dan dari terjerumus pada kemunafikan tersebut. [17]
5.    Beliau mengutarakan jihad memerangi pelaku kezaliman, kebid’ahan dan kemungkaran dilakukan dengan tiga martabat; dengan tangan, bila tidak mampu maka dengan lisan dan bila tidak mampu juga maka dengan hati.  Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id Al Khudri Radhiaallahu ‘anhu yang berbunyi:Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaih w sallam bersabda, “Siapa yang melihat dari kalian satu kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka dengan lisannya lalu bila tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan dzalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:Sesungguhnya Rasulullah shollalohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang menghadapi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin, dan siapa yang menghadapi mereka dengan hatinya maka ia seorang mukmin. Tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman. (HR. Muslim, Kitab Al Iman  no. 71)
Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini dengan hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan membenci kebid’ahan, kedzaliman dan kemungkaran dengan hatinya dan berharap hilangnya hal-hal tersebut.
Maksud Tujuan Jihad [18]
Satu kepastian bahwa Allah tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dalam pernyataan-pernyataan mereka. Di sini akan disampaikan sebagian pernyataan tersebut agar dapat kita petik maksud dan tujuan jihad dalam Islam.
1.    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan:” Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah” [19].
2.    Beliau juga menyatakan: “Maksud tuuan jihad adalah agar tidak ada yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorang pun yang berdoa, sholat, sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumroh dan berhaji kecuali ke rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya dan tidak bernazar dan bersumpah kecuali denganNya …” [20].
3.    Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Sa’di menyatakan: “Jihad ada dua jenis; pertama jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku) dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik ilmiyah dan amaliyah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya, serta menjadi dasar bagi jihad yang kedua yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang islam dan kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid dan seluruh musuh-musuh agama dan menentang mereka” [21].
4.    Syaikh Abdulaziz bin Baaz menyatakan: “Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad Al Tholab (menyerang) dan jihad Al Daf’u (Bertahan). Maksud tujuan keduanya adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah:Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan dalam surat Al Anfal:Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. (QS. Al-Anfal: 39)
dan ayat yang semakna dengannya banyak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyatakan:Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan syahadatain, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan hak islam, dan hisab mereka diserahkan kepada Allah. (Muttafaqun Alaihi) [22]
Dari keterangan para ulama diatas jelaslah bahwa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah untuk menegakkan agama Islam dimuka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau golongan sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam jihad baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang sebagai satu konsekwensi dari pelaksanaan jihad.